Hmm,,,beberapa bulan setelah wisuda dan menerima ijasah
adalah saat-saat yang paling galau sedunia. Sudah tidak ada lagi alasan untuk
pergi kemana-mana tanpa tujuan, setiap ketemu orang pasti ditanya “udah kerja dimana?”,
apakah orang-orang tidak mengerti bahwa pertanyaan yang mereka ajukan bagian
dari beban tambahan yang diberikan pada kami “pengangguran intelek” ini. Apa lagi
kalau kita dikenal sebagai salah satu orang yang dianugrahi otak diatas
rata-rata—pinjen istilah projek orang..hehehe—hal itu semakin menambah beban
pikiran dan membuat kita tambah galau. Selain sisi positifnya kita terus
terpacu untuk terus berusaha, ya berusaha lamar sana-sini, milih-milih juga
sih. Jangan sampai mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan passion kita, karena sedikit banyak hal
tersebut akan mempengaruhi kinerja kita nantinya.
Semua lowongan yang pernah saya baca, berkesan memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada siapa saja yang berkompeten dibidangnya untuk
menjadi bagian dari perusahaan tersebut. Fresh
graduate pun diberikan kesempatan untuk meniti karir dan berkontribusi
positif. Wah berarti bisa dong kita kerja dimana aja, dengan mengharapkan gaji
yang ya…cukuplah untuk memnuhi kebutuhan kita sebagai seorang fresh graduate. Apa lagi kalau kita
salah satu dari orang-orang yang berprestasi baik di kampus, makin banyak aja
kesempatan itu. Sebagai orang “pintar” yang perlu kita usahakan adalah memilih
kesempatan yang diberikan, bisa di perusahaan swasta, perusahaan milik negara,
perusahaan asing, atau mungkin overseas
alias kerja dinegara lain.
Tapi kenyataan tidak semudah bayangan, tidak semua orang “pintar”
dapat mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Selain saat ini banyak sekali orang “pintar”
yang membuat persaingan begitu ketat, juga banyak orang yang mencari jalan “pintar”
untuk bersaing secara kurang sehat.
Ternyata pintar saja tidak cukup untuk mendapatkan pekerjaan
di negeri ini, apa lagi kalau kita orang dari daerah yang terpencil, jauh dari
pusat kota. Kebanyakan perkantoran berada di pusat kota atau bahkan lebih
sempitnya ada di pusat pemerintahan. Biasanya didaerah itu hanya cabang-cabang
kecil saja, ya meski tidak menutup kemungkinan ada beberapa perusahaan yang
berasal dari daerah dan berkantor pusat didaerah.
Kita sebagai mahasiswa sederhana yang pintar, yang
mendapatkan beasiswa untuk biaya pendidikan dan sedikit bekal yang tiap
bulannya diberikan orang tua dari kampung hanya mampu bertahan sampai lulus
kuliah. Setelah itu, orang tua merasa tidak sanggup lagi untuk memberikan bekal
saat kita tinggal diluar kota. Dengan berat hati kita meninggalkan kota tempat
kita kuliah dan sedikit mengubur cita-cita untuk mendapatkan penghidupan yang
lebih layak dikota besar. Kita tidak dapat lagi melamar diperusahaan besar
katena jarak yang terlalu jauh dan biaya perjalanan yang besar untuk mengikuti
berbagai test, dan itu belum tentu diterima. Jalan lain yang diambil adalah
mencari perusahaan-perusahaan lokal atau perusahaan milik negara yang berada
dekat dengan tempat tinggal.
Namun, lagi-lagi, ternyata pintar saja tidak cukup saudara. Perusahaan
swasta lokal, oklah saya masih bisa berusaha semampu saya untuk dapat menjadi
bagian dari mereka. Namun pilihannya hanya sedikit karena sebagian besar mata
pencaharian di kampung adalah bertani dan usaha kreatif—seperti kerajinan. Beranjak
melirik beberapa perusahaan milik Negara, prosesnya panjang, pelamarnya ribuan,
dan yang paling menjengkelkan adalah masih banyaknya praktek “tipu-tipu”. Tidak
ada koneksi ya susah.
Hmm,,ko kurang beruntung ya jadi orang pintar yang
keuangannya sangat terbatas dan tidak punya koneksi???
Apakah saya salah menjadi orang pintar seperti itu???
:)
Ga salah teh, ini hanya soal keyakinan saja. Jika kita bertakwa, Allah akan memberikan rezeki tidak disangka2 (at-thalaq 2-3).
BalasHapus