08/05/12

Tempat itu bernama "Rumah Belajar"

Sebagai seorang mahasiswa—strata pelajar paling tinggi—rasanya kurang bijaksana jika pengetahuan yang dimiliki hanya untuk konsumsi pribadi saja. Ada beberapa faktor yang membuat orang enggan utnuk menyampaikan apa yang dia ketahui—dalam hal ini pemahaman dalam pelajaran—pada  orang lain. Diantaranya adalah kurangnya kepercayaan diri akan kemampuan yang dimiliki, selain itu ada juga masalah komunikasi. Kedua hal itulah yang saya alami. Kurang percaya diri, menjadi penyebab utama untuk tidak mencoba suatu hal. Kekhawatiran akan kegagalan menjadi penghalang, tapi katanya “Tugas kita hanyalah mencoba, karena dalam mencoba kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil”. Salah satu kalimat inspiratif…

Maka dari itu, saya putuskan untuk dapat sedikit berbagi dengan saudara-saudara yang tidak seberuntung saya dalam hal pendidikan. Harta, saya belum punya, jabatan,,makhluk apa itu?. Tenaga, kadang masih minta tolong orang juga, pikiran,,terlalu banyak hal yang hanya saya pikirkan. Ok, perlu suatu tekad dan niat yang kuat dalam hati untuk menjalankan amanah yang satu ini. Dengan Bismillah, akhirnya saya langkahkan kaki ini untuk mengambil tindakan nyata membantu saudara-saudara saya itu.

Pergilah saya ke salah satu kawasan pasar yang ada di tengah kota Bandung. Dari informasi yang saya dapatkan dari sana sini, di atap pasar itu ada teman-teman yang terbiasa berbagi ilmu. Mereka berbagi dengan anak-anak jalanan, yang masih sangat bersemangat untuk belajar. Semangat mereka tinggi, meski waktu mereka tidak banyak untuk belajar. Kebutuhan ekonomi mendesak untuk berhenti sekolah dan bekerja demi terus dapat menjalani hidup.

Ok, tak perlu membahas kesulitan hidup yang sebagian besar dari kita sudah mengetahuinya. Ada puluhan anak berusia belasan, yang sehari-harinya hidup dijalanan. Tapi mereka tetap semangat, ketika kami mengajak belajar. Meski telah seharian bekerja. Dengan antusias mereka menggelar meja-meja kecil dan mengambil buku tulis. Ada yang minta diajari berhitung, membaca, dan bahkan ada juga yang senang menggambar. Saya tidak menyangka, mereka masih dapat berkonsentrasi dihari yang menjelang sore itu. Dan apa yang mereka tunjukan sangat membuat saya malu.

Sebenarnya mereka cerdas-cerdas, hanya sarana dan kesempatan yang mereka dapatkan sangat tebatas. Ada satu anak yang menjadi favorit saya, namanya Irpan—dia menulisnya seperti itu. Hari itu, saya sharing tentang cara membaca Al-quran. Tanpa mengeluh, dia terus membaca halaman demi halaman buku iqro itu. Setelah selesai—entah berapa halaman yang dia baca—salah seorang teman memintanya untuk menuliskan huruf-huruf arab dalam bukunya. Dengan sangat rapi dia menuliskannya dengan tangan kirinya. Sungguh luar biasa, dia dapat menyeimbangkan otak kanan dan kirinya—dari buku-buku yang saya baca sih, katanya gitu. Irpan, anak mungil yang masih sering menghisap lem tapi memiliki semangat yang luar biasa. Hafalan huruf hijaiyah nya pun bagus—ya, tinggal dipoles dikitlah—, tulisannya rapi, dan juga hormat pada yang lebih tua.

Teman-teman baru yang menyenangkan, semoga semangat dan kemauan kalian dapat menjadi ladang amal untuk saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar